.

.

.

.

.

.

.

.

.

RESPONSIBILITY OF THE STATE ADMINISTRATION FUNCTIONARY IN CASES OF CORRUPTION_Andi Desy Awaliah

Andi Desy Awaliah

Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia


Lost of administration officials act committed by state administrative decisions later on declared as a criminal act of corruption because there is evidence that a state administrative decision is causing loss to the economy or finance. Strict limits whether a state administrative official charged with corruption can be accounted for is the condition or objective factors on the field that if he is to act in accordance with the authority,making policies which is in fact contrary to his authority by laws and regulations.

Keywords : Officials,administrative,corruption,goverment,law



PERTANGGUNG JAWABAN PEJABAT ADMINISTRASI NEGARA DALAM HAL KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI

Andi Desy Awaliah


Banyak perbuatan pejabat administrasi negara yang dilakukan dengan keputusan administrasi negara yang di kemudian hari dinyatakan sebagai tindak pidana korupsi karena ditemukan adanya bukti bahwa suatu keputusan administrasi negara tersebut menimbulkan kerugian bagi perekonomian atau keuangan negara.Batasan yang tegas apakah seorang pejabat administrasi negara yang didakwa melakukan tindak pidana korupsi dapat dipertanggung jawabkan adalah kondisi atau faktor objektif dilapangan yaitu apakah ia melakukan tindakan yang sesuai dengan kewenangannya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Kata kunci  : Pejabat,Administrasi Negara,Tindak pidana Korupsi,Pemerintahan,Hukum

                                                                                                                  *  *  *





Meraja Law Review,Personal publications

                                          Indexing & Abstracting







Member of



                                                             



                                     


                Citation & reverence manager



Plagiarism cheking by


KEBIJAKAN PEMBANGUNAN HUKUM DALAM RUMUSAN NORMATIF MENGENAI NEGARA HUKUM YANG BERDASARKAN KEDAULATAN RAKYAT_H.Nurdin



H. Nurdin
Universitas Islam Makassar 
ABSTRAK 
Meskipun secara normatif dan ideal konstitusional Indonesia adalah negara hukum yang berasaskan kedaulatan rakyat, implementasinya dalam praktik, baik pada masa kini maupun masa depan, tergantung pada budaya hukum dan politik yang berkembang di dalam masyarakat. Memang, ada semacam mitos konstitusionalisme yang berkembang di banyak negara, termasuk Indonesia, bahwa dengan memiliki sebuah  dokumen konstitusi yang menjamin tegaknya negara hukum, maka segala persoalan akan selesai dengan sendirinya. Sebuah negara hukum menghendaki orientasi pada ketentuan-ketentuan hukum dan prinsip-prinsip umum yang mendasarinya. Namun, demikian, para penyelenggara negara masa kini jangan terpaku pada asas legalitas secara kaku. Yang penting adalah mereka benar-benar menghayati “suasana kebatinan” sebuah negara hukum.
Kata kunci : Pembangunan negara hukum yang berkedaulatan rakyat


 PENDAHULUAN                                                                                        Rumusan normatif mengenai negara hukum yang berasaskan kedaulatan rakyat seperti disebutkan oleh UUD 1945 itu, dalam pelaksanaannya dapat diperlemah oleh karena UUD itu menegaskan bahwa susunan keanggotaan MPR (dan juga DPR) “ditetapkan dengan undang-undang”. Ketentuan yang singkat ini – yang tidak lazim ditemukan dalam konstitusi negar-negara lain pada umumnya – membuka peluang bagi mandataris untuk ikut menentukan susunan keanggotaan badan itu. Jadi, mandataris mengatur pemberi mandat. Salah satu kemungkinan yang akan terjadi ialah, adanya undang-undang yang justru akan memperlemah kedudukan MPR sebagai pelaksana kedaulatan rakyat dan juga sebagai lembaga yang memegang kekuasaan tertinggi. Hal seperti ini hanya mungkin dicegah dengan “semangat para penyelenggara negara” yang sungguh-sungguh menyelami “suasana kebatinan” UUD 1945. Sebab , sebagaiman dikatak oleh penjelasan UUD 1945 “ .... meskipun Undang-Undang Dasar itu tidak sempurna, akan tetapi jikalau semangat para penyelenggara pemerintahan baik, Undang-Undang Dasar itu tentu tidak akan merintangi jalannya negara”. Sebaliknya, jika “semangatnya” tidak baik, maka “ Undang-Undang Dasar tadi tentu tidak ada artinya dalam praktik”. Persoalannya kemudian adalah, dapatkah rakyat di negara ini terus-menerus menggantungkan nasib negaranya kepada “semangat para penyelennggara negara” (yang mungkin baik, mungkin juga tidak, atau memang baik, tetapi mengandung unsur-unsur yang kurang baik) tanpa adanya kontrol dari rakyat yang memiliki kedaulatan?. Dengan latar belakang pertanyaan ini, kita akan meninjau prospek negara hukum Indonesia di masa datang yang menjadi fokus pembahasan.
Meskipun UUD 1945 merupakan naskah konstitusi yang singkat, negara yang hendak dijelmakan secara normatif memenuhi  syarat-syarat sebuah negara hukum. Bahkan,  penjelasan umum UUD itu dengan tegas mengatakan bahwa negara Indonesia berdasarkan atas hukum (rechtstaat), tidak berdasar atas kekuasaan belaka (machstaat). Pemerintah berdasarkan sistem konstitusional dan bukan berdasarkan atas absolutisme. Kedaulatan terletak di tangan rakyat yang dilaksanakan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai pemegang kekuasaan negara yang tertinggi. Presiden adalah mandataris MPR yang bertanggung jawab menyelenggarakan pemerintahan tertinggi di bawah MPR. Presiden Republik Indonesia.
          Dalam Perjalanan sejarah politik Indonesia modern, ketegangan antara aspirasi tegaknya sebuah “negara hukum”  dan realitas politik yang cenderung kearah “negara kekuasaan” sampai sekarang belum terselesaikan secara memuaskan. Dilihat secara dikotomis, baik konsep pembangunan “ Negara Hukum” maupun “Negara Kekuasaan” dapat digolongkan dalam suatu tipe ideal,  yang ciri-cirinya dapat dirumuskan secara ketat, Namun, dalam realitasnya, mungkin selamanya tidak akan ditemui negara yang benar-benar hukum atau negara yang benar-benar negara kekuasaan. Sungguhpun demikian, sangatlah mungkin bahwa salah satu dari konsep atau kecendrungan itu memainkan posisi yang lebih dominan. Hal ini sangat tergantung pada beberapa faktor, di antaranya : (a) faktor budaya hukum dan politik yang menopangnya; (b) faktor perimbangan kekuatan pengaruh antara dua kekuatan yang mendukung salah satu gagasan itu; (c) faktor tekanan dari dunia internasional. Dalam membicarakan prospek realisasi gagasan negara hukum di masa depan, tulisan ini memfokuskan perhatian pada tiga faktor – tentu disamping itu masih tersedia faktor lain – yang diperkirakan akan mempengaruhi dominannya pelaksanaan konsep negara hukum, atau sebaliknya dominannya realitas politik yang berorientasi kepada negara kekuasaan. Sebelum itu, dengan ringkas dikemukakan konsep negara hukum Indonesia sebagaimana dikandung oleh Undang-Undang Dasar 1945.
 Rumusan Masalah.
Berdasarkan uraian Latar Belakang  di atas, maka rumusan masalahnya adalah sebagai berikut :
1.   Bagaimanakah Inti Teori Kebijakan Pembangunan Hukum Prof. Mochtar Kusumaatmadja?
2.   Bagaimana Peranan otoritas Hukum dan Kekuasaan dalam Teori Kebijakan Hukum? 
PEMBAHASAN
    Teori Kebijakan Hukum.
Prof. Mochtar Kusumaatmadja, tidak bisa lepas dari teori Kebijakan Pembangunan hukum, pengabdiannya di kampus dan birokrat telah ikut membantu penyebaran pandangan-pandangannya tentang hukum. Gagasan – gagasan Mochtar telah dimasukkan sebagai materi hukum dalam pelita I (1970 – 1975).
Teori kebijakan Pembangunan hukum diciptakan dan berkembang di Indonesia sehingga relatif sesuai apabila diterapkan pada masyarakat Indonesia, teori ini ditemukan oleh Prof.Dr. Mochtar Kusuma Atmadja, SH, LLM. Teori ini dijadikan hukum sebagai katalisator dan dinamisator sebagai sarana pembaharuan masyarakat Indonesia, serta menempatkan hukum berperan aktif dan dinamis sebagai sarana pembaruan, masyrakat dan bukan sebagai alat perubahan masyarakat (Law as a Tool of Social Engeenering).
Pada intinya teori kebijakan pembangunan hukum menegaskan bahwa hukum  harus didayagunakan untuk kepentingan pembangunan. Tulisan Pound banyak mempengaruhi pemikiran Mochtar ketika menempuh pendidikan Universitas Yale, Amerika Serikat. Dengan demikian pemikiran  Mochtar berkaitan erat dengan aliran Sociological Jurisprudence.
Menurut Mochtar bahwa pengertian hukum sebagai sarana adalah sebagai berikut :
1.   Di Indonesia peran perundang-undangan dalam proses pembaharuan hukum lebih menonjol.
2.   Konsep hukum sebagai alat sebagai penerapan “Legisme” seperti pada Zaman Hindia Belanda dan masyarakat cenderung menolak konsep seperti ini.
3.   Hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat sudah diterima sebagai konsep kebijakann hukum nasional.
     Peranan Otoritas dalam Kebijakan Pembangunan Hukum.
Teori kebijakan pembangunan hukum dijadikan sebagai sebuah strategi yang Sekterian disini dipahami bahwa otoritas kekuasaan dan hukum tidak hanya melekat pada negara atau birokrasi tetapi peranan media dan juga perubahan tekhnologi telah mengubah gagasan awal mengenai puncak relasi permainan kekuasaan dan hukum tidak dapat berdiri sendiri sebagai sebuah otoritas tunggal.
Mochtar Kusumaatmadja berhasil mengubah pengertian hukum sebagai alat (Tool), menjadi hukum sebagai sarana (Instrumen) untuk pembangunan masyarakat. Pokok-pokok pikiran yang melandasi konsep tersebut adalah bahwa : “ Ketertiban dan Keteraturan dalam usaha pembangunan dan pembaharuan memang diinginkan, bahkan mutlak perlu, dan bahwa hukum dalam arti norma diharapkan dapat mengarahkan kegiatan manusia kearah yang dikehendaki oleh pembangunan dan pemabaharuan itu “, (Uji Sugiono, http://acapujib blogspot.com).
Teori kebijakan pembangunan hukumyang berkaitan dengan fungsi dan perkembangan hukum dalam pembangunan nasional, dan hukum masyarakat, untuk memantapkan pendidikan hukum dan ilmu hukum untuk menjadikan Law as a Tool of Social Engeenering. Atas nama pembangunan hukum, para penegak hukum bekerjasama  dengan pembuat hukum untuk menghasilkan  berbagai undang-undang yang mampu melayani kepentingan mereka sendiri.
Dalam perkembangan hukum hukum di Indonesia teori kebijakan pembangunan hukum Prof Dr.H. Mochtar Kusumaatmadja, SH, LLM, mendapat banyak perhatian dari para ahli dan masyarakat, hal tersebut disebabkan  karena kebijakan pembangunan hukum tetap eksis di Indonesia karena diciptakan oleh orang  Indonesia dengan melihat dimensi dan kultur, Teori kebijakan pembangunan hukum ini memakai kerangka acuan pada pandangan hidup (Way of Live) masyarakat serta bangsa Indonesia berdasarkan asas pancasila. Dalam aspek fungsional teori ini memberikan dasar fungsi hukum sebagai sarana perubahan masyarakat (Law as a Tool of Social Engeenering).
Teori kebijakan pembangunan hukum merupakan teori hukum yang lahir dari kondisi masyarakat yang Pluralistik berdasarkan Pancasila, sehingga sangat sesuai apabila diterapkan pada masyarakat Indonesia.

KESIMPULAN

Berdasarkan uraian dan pembahasan yang berkenaan dengan rumusan masalah dalam makalah ini, maka kesimpulan yang dikemukakan adalah:
1.   Teori kebijakan pembangunan hukum dijadikan sebagai sebuah strategi yang Sekterian disini dipahami bahwa otoritas kekuasaan dan hukum tidak hanya melekat pada negara atau birokrasi tetapi peranan media dan juga perubahan tekhnologi telah mengubah gagasan awal mengenai puncak relasi permainan kekuasaan dan hukum tidak dapat berdiri sendiri sebagai sebuah otoritas tunggal.
2.   Pada intinya teori kebijakan pembangunan hukum menegaskan bahwa hukum  harus didayagunakan untuk kepentingan pembangunan. Tulisan Pound banyak mempengaruhi pemikiran Mochtar ketika menempuh pendidikan Universitas Yale, Amerika Serikat. Dengan demikian pemikiran  Mochtar berkaitan erat dengan aliran Sociological Jurisprudence.
3.   Teori kebijakan pembangunan hukum merupakan teori hukum yang lahir dari kondisi masyarakat yang Pluralistik berdasarkan Pancasila, sehingga sangat sesuai apbila diterapkan pada masyarakat Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA

Arfani Risa Noer, 1996, Demokrasi Indonesia Kontemporer, PT. Raja Garfindo, Jakarta.
Cord, Robert L.dkk, Political Science,Practice Hall Company, California.
Mochtar Kusumaatmadja dan Arif B.Sidarta, 2000, Pengantar  Ilmu Hukum, Alumni, Bandung.
Sondang P.Siagian , 2000, Administrasi Pembangunan (Konsep, Dimensi, dan Strateginya), Bumi Aksara, Jakarta.

http://acep ujib.blogspot.com/2014/02/analist buku Mochtar – Kusumaatmadja – a.html. di akses pada tanggal  20 Juni 2017
   





     







KEBIJAKAN PUBLIK TERHADAP PEMERINTAHAN DAERAH (UU Tentang Pemerintahan Daerah)_Mukmin Muhammad

Mukmin Muhammad
email mukmintomy48048@gmail.com


Undang-undang Pemerintahan Daerah merupakan salah satu kebijakan publik dan atau kebijakan politik yang dirancanag untuk membangun format pemerintahan yang bisa memberikan dukungan terhadap kekokohan keberadaan NKRI,struktur pemerintahan harus dirancang sentralistis.Ide revisi itu berangkat dari kesatuan,sedangkan kemajemukan masyarakat daerah hanya sekedar diakomodasi sehingga selalu muncul desakan perbaikan agar supaya undang-undang pemerintahan daerah betul-betul berwujud nyata berpihak kepada rakyat,dimana sebagian besar pendududk berada di daerah.Dalam era Reformasi,setidaknya sudah tiga kali penggantian undang-undang pemerintahan daerah.Undang-undang akan selalu berubah mengikuti zaman.Hal ini dikarenakan tidak semua pasal dalam Undang-undang pas atau sesuai untuk diterapkan sepanjang zaman.Demikian juga dengan undang-undang tentang Pemerintahan Daerah.Dulu undang-undang yang digunakan adalah UU No.5 Tahun 1974,kemudian seiring berjalannya waktu diganti menjadi UU No.22 Tahun 1999,dan yang kemudian digantikan dengan UU No. 32 Tahun 2004,terakhir digunakan sekarang adalah UU No. 23 Tahun 2014.Sebelum UU No. 5 tahun 1974 digunakan,terlebih dahulu adalah UU No. 18 Tahun 1965.Sebenarnya tidak ada perbedaan principal dalam kebijakan pengelolaan pemerintahan daerah yang ada dalam Undang-undang No. 32 Tahun 2004 dengan Undang-undang No. 22 Tahun 1999,bahkan dengan UU No. 23 Tahun 2014.Atau dengan kata lain secara keseluruhan  Undang-undang tersebut memiliki kesamaan,namun yang ada adalah terdapat beberapa pasal yang mengalami perubahan.Namun demikian terdapat secara umum atau secara garis besar UU No.23 Tahun 2014 ini yang merupakan kombinasi UU No. 5 Tahun 1974 dan UU No.32 Tahun 2004,dimana fungsi Gubernur bukan hanya sebagai kepala daerah melainkan juga sebagai kepala wilayah.Dengan demikian Undang-undang Pemerintahan Daerah selalu menarik untuk dianalisis,mengapa undang-undang tersebut selalu mengalami bongkar pasang setiap suatu resim berkuasa.
Kata Kunci  : Kebijakan publik pemerintahan daerah era reformasi

                                                                                                       *  *  *

GENERAL PRINCIPLES OF GOOD GOVERNANCE IN STATE CIVIL APPARATUS LAW



Mukmin Muhammad
email mukmintomy48048@gmail.com

In order to realize the national objectives,State Civil Apparatus are needed.State Civil Aparatus are assigned the duties to carry out the task of publik service of the task of the goverment and certain development tasks. In order to achieve the national objectives,the goverment needs professional State Civil Apparatus that are free from political intervention,free from the practice of colussion,coruption and nepotism and capable of acting as the glue of unity and national unity based on  Pancasila and the 1945 Constitusion of the state of the Republik of Indonesia, which is in line with the Good Governance Principel (algemene beginselen van behorlijk bestuur) which is conceived as a legal  rule contained in Law  Number 5 Year 2014 on State Civil Apparatus.

Keywords : State Civil Apparatus, Good Governance 

                                                                                  *  *  *

INDEPENDENSI YUDISIAL SEBAGAI PILAR DARI SUATU NEGARA HUKUM



                                                           
 Mukmin Muhammad
                                                   
 email mukmintomy48048@gmail.com

 Pilar dari suatu negara hukum adalah adanya lembaga yudisial / peradilan yang independen.Kekuasaan lembaga Yudisial yang independen dimaksudkan agar tidak ada campur tangan dengan lembaga-lembaga diluar peradilan terutama Eksekutif dan Legislatif. Salah satu pilar terpenting dalam menjalankan prinsip-prinsip demokrasi,negara hukum dan penegakan Hak Asasi Manusia adalah menjamin dan menjaga kekuasaan kehakiman yang merdeka,jika terjadi campur tangan yang mengancam atau mengurangi makna (begrip) kekuasaan kehakiman merupakan ancaman dan pengurangan terhadap Demokrasi,Negara Hukum dan Konstitusionalisme.Salah satu agenda utama Reformasi adalah memulihkan kemerdekaan kekuassaan keHakiman serta kebebasan Hakim.Setiap upaya meniadakan,mengurangi atau merendahkan martabatbat kekuasaan Kehakiman yang merdeka merupakan suatu tindakan yang anti Reformasi.

Kata Kunci : Kemerdekaan dan kebebasan Kehakiman. 



 INDEPENDENSI YUDISIAL SEBAGAI PILAR DARI SUATU NEGARA HUKUM

MUKMIN MUHAMMAD
          email : mukmintomy48048@gmail.com

ABSTRAK

   Pilar dari suatu negara hukum adalah adanya lembaga yudisial/peradilan yang independen. Kekuasaan lembaga yudisial yang independen dimaksudkan agar tidak ada campur tangan dengan lembaga - lembaga diluar peradilan terutama eksekutif dan legeslatif. Salah satu pilar terpenting dalam menjalankan prinsip - prinsip demokrasi, negara hukum dan penegakan Hak Asasi Manusias adalah menjamin dan menjaga kekuasaan kehakiman yang merdeka, jika terjadi campur tangan yang mengancam atau mengurangi makna (begrip) kekuasaan kehakiman merupakan ancaman dan pengurangan terhadap demokrasi, negara hukum dan konstitusionalisme. Salah satu agenda utama Reformasi adalah memulihkan kemerdekaan kekuasaan kehakiman serta kebebasan hakim, setiap upaya meniadakan,mengurangi atau merendahkan martabat kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan suatu tindakan yang anti reformasi.
Kata Kunci : Kemerdekaan dan kebebasan kehakiman. 

PENDAHULUAN
    Dalam konstitusi negara Republik Indonesia disebutkan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum (Recht Staat). Menurut Kant negara hukum adalah sebagai nachtwakerstaat atau nachtwachtestaat (negara penjaga malam).Tugas negara penjaga malam adalah menjamin ketertiban dan keamanan masyarakat. Negara Indonesia adalah negara hukum yang bertipe Negara kesejahteraan (welfare state), negara bertipe welfare state memiliki kewajiban untuk memberikan kesejahteraan bagi masyarakatnya dan bertindak secara aktif agar dapat menyelenggarakan kesejahteraan rakyat. Negara juga diberi kekuasaan untuk bertindak atas inisiatif sendiri. Dalam negara hukum kesejahteraan, kewajiban untuk menyelenggarakan kesejahteraan rakyat diletakkan dipundak pemerintah, ciri yang menonjol dalam negara kesejahteraan yakni adanya campur tangan yang besar negara terhadap rakyatnya dan adanya kewenangan Diskresi atau Freies Ermessen. Dengan demikian syarat atau prinsip negara hukum menurut  Eropa kontinental adalah :
          a. Negara mengakui,menjamin dan melindungi Hak Asasi Manusia
          b. Adanya pemisahan kekuasaan dalam negara.
          d. Adanya peradilan yang bebas dan tidak memihak.
      Indonesia adalah Negara hukum, salah satu  tujuan Negara hukum (Recht staat) adalah menegakkan keadilan, Sarana yang digunakan dalam upaya penegakan keadilan adalah pemberian kekuasaan pada Hakim dalam menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Dalam pandangan umum Hakim adalah figur utama diruang pengadilan karena Hakimlah yang mengarahkan persidangan di pengadilan terutama dalam sistim peradilan Eropa kontinental termasuk dalam sistim peradilan di Indonesia, karena satu-satunya penentu dalam putusan adalah Hakim.
      Dalam pasal 24 ayat ( 2 ) UUD 1945 disebutkan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah mahkamah konstitusi. Hal ini berarti kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan dalam penegakan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dalam sebuah lembaga Negara yang telah ditetapkan oleh Undang-undang yakni Mahkamah Agung dan badan peradilan, demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia.
     Dasar hukum kekuasaan kehakiman diatur dalam Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dalam pasal 2 UU No 48 Tahun 2009 disebutkan bahwa:
       1.Peradilan dilakukan "Demi keadilan berdasarkan KeTuhan Yang Maha Esa "
       2.Peradilan negara menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan 
          berdasar Pancasila
      3.Semua peradilan diseluruh wilayah negara Republik Indonesia adalah
          peradilan negara yang diatur dengan Undang - undang.
      4.Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan.
    Sebagaimana telah disebutkan diatas bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum,lingkungan peradilan agama,lingkungan peradilan Militer,peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah konstitusi.
 PEMBAHASAN
1.Kemandirian Yudisial pada Negara Hukum
    Dalam Undang - Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan Kehakiman pada pasal 1 aya ( 1 ) disebutkan bahwa : "Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia". Hal ini berarti bahwa pilar dari suatu negara hukum adalah adanya lembaga Yudisial yang independen,dimaksudkan agar tidak ada campur tangan dengan lembaga - lembaga diluar peradilan terutama eksekutif dan legislatif.
    Telah menjadi kelaziman dan diterima ilmiah dalam praktik kekuasaan kehakiman yang merdeka dan kebebasan hakim merupakadua ajaran yang berbeda, timbul dengan latar belakang dan alasan yang berbeda.konsep membatasi kekuasaan yang menjadi dasar utama ajaran negara hukum, memerlukan pihak ketiga yang netral (the third neutral party) untuk meyelesaikan perkara-perkara atau sengketa antara kekuasaan dengan rakyat ( individu ).Untuk menjamin obyektivitas dan keadilan, selain wajib menyelenggarakan memutus menurut hukum ( kecuali ada kekosongan hukum, hukum tidak jelas ,atau bertentangan dengan keadilan) kekuasaan Hakim untuk memutus harus merdeka atau bebas dari segala bentuk pengaruh atau tekanan kekuasaan ( kekuatan ) lain. ( Bagir Manan , 2017 : 15 ).
    Hakim yang semestinya memutus secara benar dan adil menjadi tidak benar dan tidak adil karena dipaksa memutus menurut hukum yang secara substantif sewenang - wenang atau tidak adil.Apakah hal srmacam ini  dapat terjadi? Sangat   mungkin,yaitu apabila pembentuk Undang- Undang dengan sengaja membuat undang - undang yang sewenang- wenang,termasuk undang - undang yang meniadakan atau mengurangi kemerdekaan kekuasaan kehakiman atau kebebasan Hakim itu sendiri.
Bagaimana mencegah apabila ada Undang ,- Undang yang sewenang- wenang atau Undang - Undang yang dengan sengaja mengurangi kemerdekaan kekuasaan kehakiman dan atau kebebasan Hakim ?.Paling tidak ada dua instrumen yang dapat dipakai :
1.Ajaran hakim bukan mulut (corong ) Undang - Undang ( bouche de laloi,spreek buis van de wet,the moth of the law ).Hakim berhak menolak menerapkan atau mengesampingkan Undang - Undang yang sewenang - wenang atau tidak adil,atau sekurang- kurangnya melakukan penemuan hukum ( penafsiran,Konstruksi,dan lain- lain ) untuk menemukan putusan yang benar dan adil.Tetapi hal ini dapat dilakukan kalau ada kemerdekaan kekuasaan kehakiman dan kebebasan hakim.
2.,Pranata Judicial Review,memungkinkan pengadilan atau Hakim melepaskan diri dari belenggu Undang - Undang.Dengan alasan Undang - Undang bertentangan dengan konstruksi Undang- undang Dasar,hakim dapat mengesampingkan,menyatakan tidak sah atau membatalkan Undang - Undang ( Bagir Manan, 2017 : 17 ).
Dua faktor diatas merupakan dasar "Judicial discrction ". Tetapi perlu diingat segala bentuk diskresi ( termasuk judicial discretion ),seperti disampaikan oleh Peter H.Shuck dalam buku " Fundamental  Of Administrative law" seperti orang yang berjalan dilereng licin dan mudah tergelincir serta tidak terkendali.Tetapi kebebasan hakim merupakan juga hukum,bermata dua.Disatu pihak kebebasan hakim merupakan juga hukum,bermata dua.Disatu pihak kebebasan hakim merupakan merupakan prasyarat mengadili secara benar dan adil.Dipihak lain kebebasan itu dapat menjadi alat menindas dan memeras,menerima suap.Peluang ini lebih besar atas dasar ( asas ) : "Hakim di larang menolak memutus perkara dengan alasan kekosongan hukum atau hukum tidak jelas ". Asas ini dapat disalahgunakan untuk memutus secara sewenang - wenang.Untuk menghindari hal tersebut,selain senantiasa menjungjung  etika,kebebasan Hakim bukanlah kebebasan tanpa batas.
Lembaga perdilan sebagai lembaga publik harus senantiasa terjamin akuntabilitasnya sebab sebagai lembaga publik tidak saja bekerja untuk kepentingan individu trtentu tetapi lebih jauh dan lebih utama adalah untuk kepentingan  publik itu sendiri,sehingga disyaratkan adanya independensi,dan independensi itu harus dilengkapi dengan akuntabilitas.
2.Kekuasaan Kehakiman dalam Negara Demokrasi
Tentang kekuasaan kehakiman didalam Undang - undang Dasar 1945 pasal 24 ayat ( 1 ) disebutkan bahwa : " Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain - lain, badan kehakiman ".Lebih lanjut menurut pasal 24 ayat ( 2  ) disebutkan pula : " susunan kekuasaan kehakiman itu diatur dengan Undang  - Undang ".
Menurut Fran Cross ( dalam Bagir Manan : 2017 ), kemerdekaan kekuasaan kehakiman atau kebebasan hakim diartikan bukan sebagai kemerdekaan atau kebebasan tanpa batas. Akan tetapi Kemerdekaan kekuasaan kehakiman atau kebebasan hakim diartikan sebagai kemerdekaan atau kebebasan dalam proses yudisial yang meliputi :
a.Bebas dari tekanan,campur tangan,dan rasa takut ketika memeriksa dan
     memutus perkara.
b.Tidak.ada yang dapat menolak melaksanakan putusan Hakim,putusan
    Hakim adalah hukum yang wajib ditaati dan dilaksanakan.
c.Hakim tidak dapat diganggu gugat atau dituntut dengan alasan putusan
    salah atau merugikan orang lain.
d.Hakim tidak boleh dikenakan suatu tindakan ( seperti penurunan pangkat,
    diberhentikan ) karna putusannya.
Untuk lebih memperkukuh prinsip - prinsip diatas,masa jabatan hakim tidak ditentukan batas umur tertentu, melainkan selama bertingkah laku baik ( during good behavior) atau seumur hidup ( for live ). Demikian pula tata cara penggajian atau kompensasi diatur secara khusus.
Kesadaran dan tanggung jawab dalam.menjamin atau menjaga kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan salah satu pilar terpenting dalam menjaga dan menjalankan prinsip - prinsip demokrasi,negara hukum,konstitusionalisme dan penegakan Hak Asasi Manusia.Setiap bentuk campur tangan yang mengancam atau mengurangi makna ( begrip) kekuasaan kehakiman merupakan ancaman dan pengurangan terhadap demokrasi,negara hukum,konstitusionalisme dan penegakan Hak asasi manusia.
Dalam negara demokrasi yang antara lain bercirikan pemisahan  atau pembagian kekuasaan antar lembaga negara,yang dikedepankan adalah lebih bersifat cheks and balances dalam makna saling mengendalikan agar lembaga - lembaga tidak terperangkap menggunakan kekuasaan yang bertentangan dengan prinsip - prinsip demokrasi,negara hukum,konstitusionalisme.
Sebelum perubahan tidak ada pasal ( ketentuan ) dalam UUD 1945 mengenai kekuasaan kehakiman yang merdeka prinsip ini dimuat sebagai penjelasan pasal 24.Selain kemungkinan terburu - buru,the formes of the constitution mungkin beranggapan demokrasi kehakiman yang merdeka tidak melekat pada demokrasi dan negara hukum yang disertai kemerdekaan kekuasaan kehakiman.Menyadari kekurangan itu penjelasan yang dibuat kemudian menegaskan : " Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka,artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah ",walaupun tidak dimuat dalam batang tubuh,penjelasan itu merupakan manifestasi dari prinsip - prinsip UUD 1945,seperti prinsiip demokrasi ( kedaulatan rakyat ),prinsip hak asasi manusia  (pasal 27,pasal 28,dan pasal 29),dan prinsip negara hukum , itulah yang terjadi dalam praktik ( Bagir Manan,2017 : 21 ).
Sasaran utama reformasi adalah memulihkan kemerdekaan kekuasaan kehakiman dan kebebasan Hakim karena itu setiap.upaya meniadakan,mengurangi atau merendahkan martabat kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan suatu anti- tesis terhadap reformasi dan merupakan usaha membangun kekuasaan otoriter baru.
 KESIMPULAN
      Berdasarkan uraian dalam pembahasan maka kesimpulan yang dikemukakan adalah :
       1.Pilar dari suatu negara hukum adalah adanya lembaga Yudisial / peradilan yang independen.Kekuasaan lembaga Yudisial yang independen dimaksudkan agar tidak ada campur tangan dengan lembaga - lembaga diluar peradilan .
2.Dalam negara demokrasi  pemisahan atau pembagian kekuasaan antar lembaga negara,terutama pada aspek chek and balances,dalam makna saling mengendalikan agar lembaga tidak terperangkap menggunakan kekuasaan yang bertentangan dengan prinsip - prinsip demokrasi,negara hukum dan konstitusionalisme.
3.Kesadaran dan tanggug jawab dalam menjamin kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan pilar yang penting dalam menjalankan prinsip - prinsip demokrasi,negara hukum dan konstitusionalisme.
 DAFTAR PUSTAKA.
Bagir Manan,2017,Menjaga independensi kekuasaan kehakiman,Majalah peradilan
                        Tahun XXIV NO. 376,IKAHI,Jakarta.
Bagir Manan,2001,Perkembangan pemikiran dan pengaruran hak asasi manusia di
                        Indonesia,Alumny,Bandung.
Burhanuddin Salam,H,1988,logika Formal ( filsafat berfikir ),Bina aksara,Jakarta.
De Haan,P,et.al,1986,Bestuursrecht in de sociale Rechsstaat.Deel 1,Kluwer-Deventer.
Finch,John D.1979,Introduction to legal Theory,Sweet & Maxwell.
Friedman,W,1970,Legal Theory,Columbia University Press,New York.
Hotma P.Sibuea,2014,Ilmu Negara,Erlangga,Jakarta.
Handri Raharjo,2016,Sistem Hukum Indonesia,Pustaka Yustisia, Yogyakarta.
Mukmin Muhammad,2017,Etika Administrasi Negara,Deepublish,Yogyakarta.
Mochtar Kusumaatmadja and B.A.Sidarta,2000,Pengantar Ilmu Hukum,Alumni,
                       Bandung.
Ridwan HR,2016,Hukum Administrasi Negara,Raja Grapindo Perkasa,Jakarta.
Peter H.Schuck,2014,why Goverment Fails so often,Princeton University Press.
Satjipto Rahardjo,1999,Hukum dan Masyarakat,Angkasa,Bandung.
Soerjono Soekanto,1983,Penegakan Hukum,Bina Cipta,Bandung
Sudikno Mertokusumo,2014,Teori Hukum ( edisi revisi ),cahaya atma   pustaka,
                        Yogyakarta.
Ten Berge,J.B.J.M,1995,Bescherming Tegen Overheid,W.E.J.Tjeenk Willing,Zwole.
Utrecht,E,1957,Pengantar dalam Hukum Indonesia,Ichtiar,Jakarta.
Van Apeldoorn,L.J,Inleiding tot de studie van het Nederlandse Recht,W.E.J.Tjeen Willink,Zwole.

Undang - Undang
                      
Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945                                                           Undang – Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman





                                                       

                   *     *      *